Kelainan Lama Kehamilan
Lamanya kehamilan yang
normal adalah 280 hari atau 40 minggu dihitung dari hari pertama haid yang
terakhir.
Kadang-kadang kehamilan berakhir sebelum waktunya
dan ada kalanya melebihi waktu yang normal.
I.
ABORTUS
- Pengertian
Abortus
adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia luar, tanpa
mempersoalkan sebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia luar bila berat
badannya telah mencapai >500 gram atau umur kehamilan >20 minggu. Definisi
menurut WHO adalah keluarnya janin sebelum berat badan mencapai 500 atau usia
kehamilan <22 minggu. Mengingat kondisi penanganan bayi baru lahir berbeda
di berbagai negara, maka usia kehamilan pada definisi abortus dapat berbeda.
Klasifikasi abortus :
Abortus diklasifikasikan sebagai
a.
Abortus dini, bila terjadi pada trimester pertama
(kurang dari 12 minggu)
b.
Abortus lanjut bula terjadi antara 12 – 24 minggu
(trimester kedua).
Menurut kejadiannya,
terdapat dua istilah yang dipakai yakni
a.
Abortus spontan (miscarriage,
pregnancy loss) adalah keluarnya hasil konsepsi tanpa intervensi medis
maupun mekanis.
b.
Abortus buatan, Abortus
provocatus (disengaja, digugurkan);
1) Abortus buatan
menurut kaidah ilmu (Abortus provocatus
artificialis atau abortus
therapeuticus)
Indikasi abortus untuk kepentingan
ibu, misalnya: penyakit jantung, hipertensi esensial, karsinoma serviks.
Keputusan ini ditentukan oleh tim
ahli yang terdiri dari dokter ahli kebidanan, penyakit dalam dan psikiatri atau
psikolog.
2)
Abortus buatan kriminal (Abortus
provocatus criminalis).
Abortus buatan kriminalis adalah
pengguguran kehamilan tanpa alasan medis yang sah atau oleh orang yang tidak
berwenang dan dilarang oleh hukum atau dilakukan oleh yang tidak berwenang.
Kemungkinan adanya abortus
provokatus kriminalis harus diper-timbangkan bila ditemukan abortus febrilis.
Aspek hukum dari tindakan abortus
buatan harus diperhatikan.
Bahaya abortus buatan kriminalis:
- infeksi
- infertilitas
sekunder
- kematian.
Insidensi abortus sulit ditentukan oleh karena kadang-kadang
seorang wanita dapat mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil, dan
tidak mempunyai gejala yang hebat sehingga hanya dianggap sebagai menstruasi
yang terlambat (siklus memanjang). Terlebih lagi insidensi abortus kriminalis,
sangat sulit ditentukan karena biasanya tidak dilaporkan. Angka kejadian
abortus dilaporkan oleh Rumah Sakit sebagai rasio dari jumlah abortus terhadap
jumlah kelahiran hidup. Di USA angka
kejadian secara nasional berkisar antara 10-20%, di Indonesia kejadian berdasarkan
laporan rumah sakit. Di RS Hasan Sadikin Bandung berkisar antara 18-19%. Kebanyakan abortus terjadi sebelum
usia kehamilan 12 minggu, hanya sekitar 4 % abortus yang terjadi pada trimester
kedua dan hanya sekitar 5% abortus yang terjadi setelah bunyi jantung janin
dapat diidentifikasi.
2.
Etiologi
Penyebab abortus
merupakan gabungan dari beberapa faktor. Umumnya abortus didahului oleh
kematian janin.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkanterjadinya
abortus adalah :
1. Faktor
janin
Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah
gangguan pertumbuhan zigot, embrio, janin atau plasenta. Kelainan tersebut
biasanya menyebabkan abortus pada trimester pertama, yakni :
a. kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio,
kelainan kromosom (monosomi, trisomi atau poliploidi)
b. embrio
dengan kelainan lokal
c. abnormalitas
pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas).
2. Faktor maternal
a. Infeksi
Infeksi maternal dapat membawa
risiko bagi janin yang sedang ber-kembang, terutama pada akhir trimester
pertama atau awal trimester kedua. Tidak diketahui penyebab kematian janin
secara pasti, apakah janin yang menjadi terinfeksi ataukah toksin yang
dihasilkan oleh mikroorganisme penyebabnya.
Penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan abortus.
Virus : misalnya rubella, sitomegalovirus, virus
herpes simpleks, varicella zoster,
vaccinia, campak, hepatitis, polio, encefalomielitis.
Bakteri : misalnya Salmonella typhi.
Parasit : misalnya Toxoplasma gondii, Plasmodium
b. Penyakit
vaskuler : misalnya hipertensi vaskuler.
c. Kelainan
endokrin :
Abortus spontan dapat terjadi bila
produksi progesteron tidak mencukupi, atau pada penyakit disfungsi tiroid;
defisiensi insulin.
d. Faktor
imunologis : ketidak-cocokan (inkompatibilitas) sistem HLA (Human Leukocyte Antigen).
e. Trauma
Kasusnya jarang terjadi, umumnya
abortus terjadi segera setelah trauma tersebut, misalnya trauma akibat
pembedahan :
- pengangkatan
ovarium yang mengandung korpus luteum gravidi-tatum sebelum minggu ke-8.
- pembedahan
intraabdominal dan operasi pada uterus pada saat hamil
f. Kelainan Uterus
Hipoplasia uterus, mioma (terutama
mioma submukosa), serviks inkompeten atau retroflexio
uteri gravidi incarcerata.
g.
Faktor psikosomatik : pengaruh dari
faktor ini masih dipertanyakan.
3. Faktor
Eksternal
a.
Radiasi
Dosis 1-10 rad bagi janin pada
kehamilan 9 minggu pertama dapat merusak janin, dan dosis yang lebih tinggi
dapat menyebabkan keguguran.
b.
Obat-obatan
Antagonis asam folat, antikoagulan,
dan lain-lain.
Sebaiknya tidak menggunakan
obat-obatan sebelum kehamilan 16 minggu kecuali telah dibuktikan bahwa obat
tersebut tidak mem-bahayakan janin, atau untuk pengobatan penyakit ibu yang
parah.
c. Bahan-bahan kimia lainnya, seperti bahan yang
mengandung arsen, benzen.
3. Patogenesis
Kebanyakan abortus spontan terjadi segera setelah
kematian janin yang kemudian diikuti dengan perdarahan ke dalam desidua
basalis, lalu terjadi perubahan-perubahan nekrotik pada daerah implantasi,
infiltrasi sel-sel peradangan akut, dan akhirnya perdarahan pervaginam. Buah
kehamilan terlepas seluruhnya atau sebagian yang diinterpretasikan sebagai
benda asing dalam rongga rahim. Hal ini menyebabkan kontraksi uterus dimulai,
dan segera setelah itu terjadi pendorongan benda asing itu keluar rongga rahim
(ekspulsi). Perlu ditekankan bahwa pada
abortus spontan, kematian embrio
biasanya terjadi paling lama 2 minggu sebelum perdarahan. Oleh karena itu,
pengobatan untuk mempertahan-kan janin tidak layak dilakukan jika telah terjadi
perdarahan banyak karena abortus tidak dapat dihindari.
Sebelum minggu ke-10, hasil konsepsi biasanya
dikeluarkan dengan lengkap. Hal ini disebabkan karena sebelum minggu ke-10 vili
korialis belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua hingga telur mudah
terlepas keseluruhannya. Antara minggu ke 10-12 korion tumbuh dengan cepat dan
hubungan vili korialis dengan desidua makin erat, hingga mulai saat tersebut
sering sisa-sisa korion (plasenta) tertinggal kalau terjadi abortus.
Pengeluaran hasil
konsepsi didasarkan 4 cara :
a.
Ke luarnya kantung korion pada
kehamilan yang sangat dini, meninggalkan sisa desidua.
b.
Kantung amnion dan isinya (fetus) didorong keluar,
meninggalkan korion dan desidua.
c.
Pecahnya amnion terjadi dengan putusnya tali pusat
dan pendorongan janin ke luar tetapi mempertahankan sisa amnion dan korion
(hanya janin yang dikeluarkan)
d.
Seluruh janin dan desidua yang melekat didorong
keluar secara utuh.
Sebagian besar abortus termasuk dalam tiga tipe pertama, oleh karena
itu kuretasi diperlukan untuk membersihkan uterus dan mencegah perdarahan atau
infeksi lebih lanjut.
Abortus bentuk
yang istimewa, seperti :
1.
Telur kosong (blighted
ovum) yang terbentuk hanya kantong amnion berisi air tuban tanpa janin.
2.
Mola kruenta adalah telur yang dibungkus oleh darah kental. Mola kruenta terbentuk kalau abortus terjadi
dengan lambat laun hingga darah sempat membeku antara desidua dan korion.
Kalau darah beku ini sudah seperti daging disebut
juga mola karnosa.
3.
Mola tuberosa ialah telur yang memperlihatkan benjolan-benjolan,
disebab-kan oleh hematom-hematom antara amnion dan korion.
4.
Nasib janin yang mati bermacam-macam, kalau masih
sangat kecil dapat diabsorpsi dan hilang. Kalau janin sudah agak besar, maka
cairan amnion diabsorpsi hingga janin tertekan (foetus compressus).
Kadang-kadang janin menjadi kering, mengalami
mumifikasi hingga menyerupai perkamen (foetus
papyraceus), keadaan ini lebih sering terdapat pada kehamilan kembar (vanished twin).
Mungkin juga janin yang
sudah agak besar mengalami maserasi.
a. Abortus inkomplet b.
Abortus komplet
Berbagai jenis
abortus
Sumber : Benson and
Pernole’s. Handbook of Obstetrics and Gynecology, edisi 9 1994. hal. 290
4. Gambaran Klinis
Secara klinis
abortus dibedakan sebagai berikut :
Abortus iminens (keguguran mengancam).
Abortus ini baru mengancam dan masih ada harapan
untuk mempertahankan-nya, ostium uteri tertutup uterus sesuai umur kehamilan.
Abortus insipiens
(keguguran berlangsung).
Abortus ini sedang berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi, ostium terbuka,
teraba ketuban, berlangsung hanya beberapa jam saja.
Abortus
inkompletus (keguguran tidak
lengkap). Sebagian dari buah kehamilan telah dilahirkan tapi sebagian (biasanya
jaringan plasenta) masih tertinggal di dalam rahim, ostium terbuka teraba
jaringan.
Abortus kompletus
(keguguran lengkap).
Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan
lengkap, ostium tertutup uterus lebih kecil dari umur kehamilan atau ostium
terbuka kavum uteri kosong.
Missed abortion (keguguran tertunda).
Ialah keadaan di mana janin telah mati sebelum
minggu ke 20, tetapi tertahan di
dalam rahim selama
beberapa minggu setelah
janin mati. Batasan
ini
berbeda dengan batasan ultrasonografi.
Abortus
habitualis (keguguran
berulang).
Ialah abortus yang telah berulang dan berturut-turut
terjadi; sekurang-kurangnya 3 kali berturut-turut.
·
Abortus
iminens
Threatened
abortion, ancaman
keguguran.
Didiagnosis bila seseorang wanita hamil < 20
minggu mengeluarkan darah sedikit pervaginam. Perdarahan dapat berlanjut
beberapa hari atau dapat berulang, dapat pula disertai sedikit nyeri perut
bawah atau nyeri punggung bawah seperti saat menstruasi. Setengah dari abortus
iminens akan menjadi abortus komplit atau inkomplit, sedangkan pada sisanya
kehamilan akan terus berlangsung. Beberapa kepustakaan menyebutkan adanya
risiko untuk terjadinya prematuritas atau gangguan pertumbuhan dalam rahim (intrauterine growth retardation ) pada
kasus seperti ini.
Perdarahan yang sedikit pada hamil muda mungkin juga
disebabkan oleh hal-hal lain, misalnya placental
sign ialah perdarahan dari pembuluh-pembuluh darah sekitar plasenta. Gejala
ini selalu terdapat pada kera Macacus
rhesus yang hamil.
Erosi porsio lebih mudah
berdarah pada kehamilan; demikian juga polip serviks, ulserasi vagina,
karsinoma serviks, kehamilan ektopik dan kelainan trofoblas harus dibedakan
dari abortus iminens karena dapat memberikan
perdarahan per vaginam. Pemeriksaan spekulum dapat membedakan polip,
ulserasi vagina, atau karsinoma serviks, sedangkan kelainan lain membutuh-kan
pemeriksaan ultrasonografi.
Dasar diagnosis abortus iminens secara klinis:
- Anamnesis :
a. Perdarahan
sedikit dari jalan lahir
b. Nyeri
perut tidak ada atau ringan
- Pemeriksaan dalam :
a. Fluksus
ada, sedikit
b. Ostium
uteri tertutup
c. Besar
uterus sesuai umur kehamilan.
3.
Pemeriksaan penunjang : Hasil USG dapat menunjukkan:
a.
Buah kehamilan masih utuh, ada
tanda kehidupan janin.
b.
Meragukan
c.
Buah kehamilan tidak baik, janin
mati.
Pengelolaan :
a. Bila kehamilan
utuh, ada tanda kehidupan janin:
1)
Bed rest selama 3 x 24 jam
2)
Pemberian preparat progesteron bila ada indikasi
(bila kadar < 5-10 nanogram)
- Bila hasil USG meragukan, ulangi pemeriksaan
USG 1-2 minggu kemudian
- Bila hasil USG tidak baik, evakuasi.
·
Abortus
insipien
Inevitable
abortion, abortus sedang
berlangsung.
Abortus insipien didiagnosis apabila pada wanita
hamil ditemukan perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah yang
disertai nyeri karena kontraksi rahim kuat dan ditemukan adanya dilatasi
serviks sehingga jari pemeriksa dapat masuk, teraba ketuban. Kadang-kadang
perdarahan dapat menyebabkan kematian bagi ibu dan jaringan yang tertinggal
dapat menyebabkan infeksi, sehingga evakuasi harus segera dilakukan.
Janin biasanya sudah mati,
mempertahankan kehamilan pada keadaan ini merupakan indikasi kontra.
Dasar diagnosis :
1. Anamnesis : Perdarahan dari jalan lahir
disertai nyeri/kontraksi rahim.
2. Pemeriksaan dalam
: a. ostium terbuka
b. buah kehamilan
masih dalam rahim
c. ketuban utuh, mungkin menonjol.
Pengelolaan :
a.
Evakuasi
b.
Uterotonik pasca evakuasi
c.
Antibiotik selama 3 hari.
·
Abortus
inkomplet
Abortus inkomplit didiagnosis apabila sebagian dari
hasil konsepsi telah lahir atau teraba pada vagina, tetapi sebagian tertinggal
(biasanya jaringan plasenta). Perdarahan biasanya terus berlangsung, dapat
banyak dan membahayakan ibu. Sering serviks tetap terbuka karena masih ada
benda di dalam rahim yang dianggap sebagai benda asing (corpus allienum), maka uterus akan berusaha mengeluarkannya dengan
mengadakan kontraksi sehingga ibu merasakan nyeri namun tidak sehebat pada
abortus insipiens.
Pada beberapa kasus
perdarahan tidak banyak dan bila dibiarkan serviks akan menutup kembali.
Dasar diagnosis :
1. Anamnesis :
a. Perdarahan dari jalan lahir, biasanya banyak
b. nyeri/kontraksi rahim ada
c. bila perdarahan banyak, dapat terjadi syok
2. Pemeriksaan dalam
:
a. ostium uteri terbuka
b. teraba sisa jaringan buah kehamilan
Pengelolaan :
a. Perbaiki keadaan umum : bila ada
syok, atasi syok; bila Hb < 8 gr%, transfusi.
b. Evakuasi :
digital, kuretasi
c. Uterotonik
d. Antibiotik selama
3 hari.
·
Abortus febrilis
Ialah
abortus inkompletus atau abortus insipiens yang disertai infeksi.
Manifestasi klinis ditandai dengan adanya demam,
lokia yang berbau busuk, nyeri di atas simfisis atau di perut bawah, abdomen
kembung atau tegang sebagai tanda
peritonitis.
Abortus
ini dapat menimbulkan syok endotoksin. Keadaan hipotermi pada umumnya
menunjukkan keadaan sepsis.
Dasar diagnosis :
1. Anamnesis :
Waktu masuk rumah sakit
mungkin disertai syok septik.
2. Pemeriksaan dalam
:
- Ostium uteri
umumnya terbuka dan teraba sisa jaringan
- Rahim maupun adneksa nyeri pada perabaan
- Fluksus
berbau.
Pengelolaan :
- Perbaiki
keadaan umum (infus, transfusi, atasi syok septik bila ada).
- Posisi
Fowler
- Antibiotik
yang adekuat (untuk bakteri aerob dan anaerob)
- Uterotonik
- Pemberian
antibiotik selama 24 jam intravena, dilanjutkan dengan evakuasi digital atau
kuret tumpul.
·
Abortus komplit
Kalau
telur lahir dengan lengkap maka abortus disebut komplit. Pada keadaan ini
kuretasi tidak perlu dilakukan.
Pada setiap abortus penting
untuk selalu memeriksa jaringan yang dilahir-kan apakah komplet atau tidak dan
untuk membedakan dengan kelainan trofoblas (Molahidatidosa).
Pada abortus komplit
perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan
selambat-lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali, karena dalam
masa ini luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai. Serviks juga dengan segera menutup kembali. Kalau 10 hari setelah abortus masih ada
perdarahan juga, maka abortus inkomplet atau endometritis pasca abortus harus
dipikirkan.
·
Abortus tertunda
(Missed abortion)
Apabila buah
kehamilan yang telah mati tertahan dalam rahim selama 8 minggu atau lebih.
Dengan pemeriksaan USG tampak janin tidak utuh, dan membentuk gambaran
kompleks, diagnosis USG tidak selalu harus tertahan >8 minggu.
Sekitar
kematian janin kadang-kadang ada perdarahan pervaginam sedikit sehingga
menimbulkan gambaran abortus iminens, selanjutnya rahim tidak membesar, malahan
mengecil karena absorpsi air tuban dan maserasi janin. Buah dada mengecil
kembali. Gejala-gejala lain yang penting tidak ada, hanya amenore berlangsung
terus. Abortus spontan biasanya berakhir
selambat-lambatnya 6 minggu setelah janin mati.
Kalau
janin mati pada kehamilan yang masih muda sekali maka janin akan lebih cepat
dikeluarkan, sebaliknya kalau kematian janin terjadi pada kehamilan yang lebih
lanjut, maka retensi janin akan lebih lama.
Dasar diagnosis :
1. Anamnesis
: Perdarahan bisa ada atau tidak
2. Pemeriksaan
obstetri:
- Fundus uteri lebih kecil
dari umur kehamilan
- Bunyi jantung janin tidak
ada
3. Pemeriksaan
penunjang :
- USG
-
Laboratorium :
Hb, trombosit, fibrinogen,
waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin.
Pengelolaan :
- Perbaikan keadaan umum
- Darah segar
- Fibrinogen
- Evakuasi dengan kuret; bila umur
kehamilan > 12 minggu didahului dengan pemasangan dilator (laminaria stift).
·
Abortus
habitualis
Bila
abortus spontan terjadi 3 kali berturut-turut atau lebih. Kejadiannya jauh
lebih sedikit daripada abortus spontan (kurang dari 1%), lebih sering terjadi
pada primi tua.
Etiologi : -
kelainan genetik (kromosomal),
- kelainan hormonal atau imunologik
- kelainan anatomis.
Pengelolaan abortus habitualis tergantung pada
etiologinya, pada kelainan anatomi mungkin dapat dilakukan operasi Shirodkar
atau McDonald.
·
Abortus
provokatus medisinalis
Abortus provokatus medisinalis dapat dilakukan
dengan cara :
1. Cara kimiawi: pemberian secara ekstrauterin
atau intrauterin obat abortus seperti prostaglandin, antiprogesteron (RU 486)
atau oksitosin.
2. Cara mekanis :
a. Pemasangan
batang laminaria, atau dilapan akan membuka serviks secara perlahan dan tidak
traumatis sebelum kemudian dilakukan evakuasi dengan kuret tajam atau vakum.
b. Dilatasi
serviks dilanjutkan dengan evakuasi, dipakai dilator Hegar dilanjutkan dengan
kuretasi.
c. Histerotomi
/ histerektomi.
5. Penyulit Abortus
Penyulit
yang disebabkan oleh abortus kriminalis
(walaupun dapat juga terjadi pada abortus spontan) berupa :
1.
perdarahan yang hebat.
2.
kerusakan serviks
3.
infeksi kadang-kadang sampai terjadi sepsis, infeksi
dari tuba dapat menimbulkan kemandulan.
4.
perforasi
5.
faal ginjal rusak
(renal failure); disebabkan karena infeksi dan syok. Pada pasien dengan
abortus diuresis selalu harus diperhatikan. Pengobatannya ialah dengan pembatasan cairan dan mengatasi
infeksi.
6.
syok bakterial:
terjadi syok yang berat, rupa-rupanya
oleh toksin-toksin. Pengobatannya ialah dengan pemberian antibiotik,
cairan, kortikosteroid dan heparin.
II. PARTUS
PREMATURUS DAN PARTUS IMATURUS
(PERSALINAN KURANG BULAN)
1. Pendahuluan
Partus
prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan < 37 minggu atau berat
badan lahir antara 500-2499 gram. Kejadiannya masih tinggi dan merupakan penyebab kematian neonatal yang
utama. Di Amerika Serikat kejadiannya 8-10%, di
Indonesia 16-18% dari semua kelahiran hidup.
Ibu yang
pernah melahirkan bayi prematur mempunyai risiko 20-30% untuk melahirkan bayi
prematur lagi pada kehamilan berikutnya;
namun 50% ibu yang melahirkan prematur, tidak mempunyai faktor risiko.
2.
Faktor Risiko Persalinan Prematur
Persalinan
prematur akan meningkat kejadiannya pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
A. Karakteristik pasien :
1. Status sosio-ekonomi
yang rendah termasuk kedalamnya penghasilan yang rendah, pendidikan rendah dan
nutrisi yang kurang.
2. Ras
Di
Amerika orang kulit hitam yang
melahirkan prematur lebih banyak dibandingkan dengan orang kulit putih (16,3%
berbanding 7,7%).
3. Umur
Kehamilan pada usia 16 tahun dan
primi gravida > 30 tahun
4. Riwayat pernah
melahirkan prematur satu kali, mempunyai risiko 4 kali lipat, sedangkan yang
pernah melahirkan dua kali prematur mempunyai risiko 6 kali lipat.
5. Pekerjaan dan
aktivitas
Pekerjaan fisik yang berat, tekanan
mental (stress) atau kecemasan yang
tinggi meningkatkan kejadian prematur.
6. Merokok, lebih dari
10 batang sehari
7. Penggunaan obat
bius/kokain
B. Komplikasi kehamilan yang merupakan faktor predisposisi
1. Infeksi
saluran kemih :
a. Bakteriuri tanpa gejala (asymptomatic bacteriuri)
b. Pielonefritis.
2.
Penyakit ibu :
a. Hipertensi dalam kehamilan
b.
Asma
c.
Hipertiroidi
d.
Penyakit-penyakit jantung
e. Kecanduan obat
f.
Kolestasis
g. Anemi dengan Hb < 9 gram%
3. Keadaan
yang menyebabkan distensi uterus berlebihan
a.
Kehamilan multipel
b.
Hidramnion
c.
Diabetes
d.
Isoimunisasi Rh
4. Perdarahan
antepartum
5. Infeksi
umum pada ibu
6. Tindakan
bedah pada ibu selama kehamilan
7.
Kehamilan dengan AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) in situ
(Kegagalan AKDR).
3. Pengelolaan
Kehamilan Dengan Risiko Persalinan Prematur
Yang terpenting mengetahui prediposisi persalinan prematur. Deteksi
dini sulit dilakukan; dan bila persalinan telah berlangsung akan sulit untuk
mencegah prematuritas. Tahapan pengelolaan sebagai berikut :
1. Mendidik
ibu dengan risiko tinggi
Ibu diajari untuk mengenal tanda-tanda persalinan dini yang harus diwaspadai sebelum kehamilan
berusia 37 minggu seperti:
a. Nyeri seperti nyeri haid
b. Nyeri pinggang
c. Merasa tekanan pada
jalan lahir meningkat
d. Frekuensi berkemih
meningkat
e. Adanya lendir berdarah (show) atau ke luar cairan ketuban dari
jalan lahir.
2. Pengawasan
ibu dengan risiko tinggi untuk prematur setelah
kehamilan berumur > 20 minggu
dengan cara :
a. Menanyakan adanya
tanda-tanda persalinan seperti di atas.
b. Bila
tanda-tanda tersebut ada, periksa keadaan serviks terhadap :
-
adanya dilatasi ostium internum atau eksternum
-
adanya pendataran atau perlunakan
-
adanya perubahan posisi
-
adanya penurunan bagian terendah janin
3. Bila ditemukan adanya perubahan serviks dan adanya his maka
pasien dirawat.
4. Bila ada persalinan, diberikan terapi.
4. Terapi
A. Secara Umum :
1. Istirahat rebah dengan posisi miring ke kiri untuk perbaikan
peredaran darah ke uterus dan memberi cairan bila perlu.
2. Mengobati bakteriuri tak
bergejala dan memeriksa kemungkinan reinfeksi
setiap 6-8 minggu.
3. Menghilangkan/mengurangi faktor risiko (stress pekerjaan) dengan
istirahat, perbaikan gizi, mengobati anemi dsb.
4. Tidak melakukan hubungan seksual setelah 20 minggu pada ibu risiko
tinggi
5. Pemantauan kemungkinan adanya kontraksi rahim dengan
tokodinamo-meter.
B. Pengobatan
1. Tokolitik
a. Etanol
:
Inhibisi kerja hipofise posterior,
sehingga pengeluaran oksitosin dihambat
(menghambat letdown reflex).
Sekarang jarang dipakai karena efek
sampingnya yang berat terhadap ibu (muntah, gastritis, aspirasi dan asidosis) serta depresi janin.
b. Magnesium
sulfat
Obat ini lebih populer, bekerja
efektif dengan dosis awal 4 gram intravena dilanjutkan dengan 1-3 gram/jam.
Efek samping adalah nafas pendek atau depresi pernafasan. Antidotumnya kalsium
glukonas.
c.
Golongan b2 - adrenergik
sangat sering dipakai untuk menghentikan
kontraksi prematur. Mekanisme aksi dari b2 - mimetik adalah
merangsang reseptor b2 pada otot polos uterus sehingga terjadi relaksasi dan hilangnya
kontraksi.
Obat
yang sering dipakai adalah :
- Terbutalin, 0,25 mg diberikan di
bawah kulit setiap 30 menit maksimum
6 kali, selanjutnya dipertahankan dengan
dosis 5 mg per oral setiap 4-6 jam.
- Ritrodin, diberikan secara infus
intravena maksimum 0,35 mg/menit sampai 6 jam setelah kontraksi hilang, lalu
dipertahankan dengan pemberian oral 10
mg setiap 2-6 jam.
Efek samping pada
ibu berupa takikardi, palpitasi, hipertensi, tremor, nausea, iritabilitas sampai
asidosis metabolik. Ritrodin tidak boleh diberikan pada ibu dengan preeklampsi,
hipertensi dalam kehamilan lainnya, ibu dengan penyakit jantung, diabetes, dan
infeksi intrauterin.
Bila diberikan 2-3 hari sebelum
anak lahir,dapat terjadi hipoglikemi, hipotensi dan hipokalsemi pada neonatus.
2. Pematangan paru-paru janin
a.
Pemberian kortikosteroid
Terbukti menurunkan kejadian RDS (Respiratory Distress Syndrome) bila diberikan pada umur
kehamilan 28-34 minggu dan 24 jam sebelum persalinan.
b. Pemberian surfaktan (surfactant)
Hasilnya sangat baik
dalam menurunkan kematian, namun harganya sangat mahal.
Bila
kontraksi rahim prematur tak dapat dihentikan dan persalinan tak dapat dicegah,
maka pimpinan partus prematurus harus sebaik
mungkin, tujuannya ialah untuk menghindarkan trauma bagi anak yang masih
lemah.
- partus tidak boleh berlangsung terlalu lama tapi sebaliknya jangan
pula terlalu cepat
- jangan memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap.
- buatlah episiotomi medialis.
- kalau persalinan perlu diselesaikan, dipilih forseps daripada ekstraksi vakum.
- jangan mempergunakan narkose.
- tali pusat secepat mungkin digunting untuk menghindarkan ikterus
neonatorum yang berat.
Bila tempat persalinan tidak mempunyai fasilitas untuk merawat
bayi prematur, ibu dengan risiko tinggi harus dirujuk sebelum persalinan
terjadi.
Rahim ibu adalah inkubator yang terbaik
III. KEHAMILAN
SEROTINUS ( KEHAMILAN LEWAT WAKTU )
1. Pendahuluan
Kehamilan
serotinus adalah kehamilan yang berlangsung
42 minggu atau lebih. Istilah lain yang sering dipakai adalah postmaturitas, postdatism atau postdates.
Kira-kira 10% kehamilan berlangsung terus sampai 42 minggu, 4%
berlanjut sampai usia 43 minggu.
Kehamilan
serotinus lebih sering terjadi pada primigravida muda dan primigravida tua atau
pada grande multiparitas. Sebagian kehamilan serotinus akan menghasilkan
keadaan neonatus dengan dysmaturitas. Kematian
perinatalnya 2-3 kali lebih besar dari bayi yang cukup bulan.
2. Diagnosis
Penentuan usia kehamilan berdasarkan rumus Naegele,
dihitung dari hari pertama haid terakhir dan berdasarkan siklus haid. (Taksiran
persalinan adalah 280 hari atau 40 minggu dari hari pertama haid terakhir pada
siklus 28 hari atau 266 hari setelah ovulasi). Jadi untuk menentukan kehamilan
serotinus harus diketahui umur kehamilan dengan tepat.
Selain dari haid, penentuan umur kehamilan dapat dibantu
secara klinis dengan mengevaluasi
kembali umur kehamilan dari saat pertama kali ibu datang. Makin awal pemeriksaan kehamilan dilakukan, umur kehamilan makin
mendekati kebenaran, menanyakan kapan terasa pergerakan anak, atau
pengukuran fundus uteri secara serial.
Pemeriksaan USG sangat membantu taksiran umur kehamilan
dan lebih akurat bila dilakukan sebelum trimester ke-2.
Di Indonesia diagnosis kehamilan serotinus sangat sulit
karena kebanyakan ibu tidak mengetahui tanggal haid yang terakhir dengan tepat.
Diagnosis yang baik hanya dapat dibuat kalau pasien memeriksakan diri sejak
permulaan kehamilan.
3. Etiologi
Percobaan pada binatang menunjukkan bahwa penyebab kehamilan
serotinus merupakan kombinasi dari
faktor ibu dan anak.
1. Faktor yang potensial
:
Adanya
defisiensi hormon adrenokortikotropik (ACTH) pada fetus atau defisiensi enzim sulfatase plasenta.
Kelainan sistem saraf pusat pada janin sangat berperan, misalnya pada keadaan anensefal.
2. Semua
faktor yang mengganggu mulainya persalinan baik faktor ibu, plasenta maupun
anak. Kehamilan terlama yakni 1 tahun 24
hari terjadi pada bayi dengan anensefal.
4. Gambaran klinis
Serotinitas atau postdatism
adalah istilah yang menggambarkan sindrom
dismaturitas yang dapat terjadi pada kehamilan serotinus. Keadaan ini
terjadi pada 30% kehamilan serotinus dan pada 3% kehamilan aterm.
Tanda-tanda serotinitas :
1. Menghilangnya lemak subkutan
2. Kulit kering, keriput atau retak-retak
3. Pewarnaan mekonium pada kulit, umbilikus dan
selaput ketuban
4. Kuku dan rambut panjang
5. Bayi
malas.
Komplikasi
yang dapat terjadi adalah kematian janin dalam rahim, akibat insufisiensi
plasenta karena menuanya plasenta dan kematian neonatal yang tinggi. Asfiksia
adalah penyebab utama kematian dan morbiditas neonatus. Pada otopsi neonatus
dengan serotinitas didapatkan tanda-tanda hipoksia termasuk adanya petekie pada
pleura dan perikardium serta didapatkan adanya partikel-partikel mekonium pada
paru-paru.
Secara histopatologis,
kelainan plasenta yang ditemukan adalah kalsifikasi, edema vili,
pseudohiperplasi pada sinsitium, degenerasi fibroid pada vili dan mikroinfark
plasenta.
5. Penilaian risiko antepartum
Mengingat morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada kehamilan
serotinus maka penilaian terhadap risiko terjadinya dismaturitas harus
dilakukan antepartum untuk memutuskan apakah fetus masih boleh tinggal dalam
rahim (menunggu persalinan spontan) atau harus dilahirkan. Penilaian
kesejahteraan janin dapat dilakukan dengan cara :
1.
Evaluasi cairan amnion dengan amniosentesis atau USG
untuk melihat adanya oligohidramnion.
2.
Dengan memantau perubahan denyut jantung janin tanpa beban (Non Stress Test) atau
dengan beban (Contraction Stress Test).
3.
Menentukan skoring profil biofisik yang didapat dari
pemeriksaan NST, USG untuk melihat pernafasan janin, tonus fetus, pergerakan
fetus dan jumlah cairan amnion.
6. Pengelolaan
1. Ekspektatif
Karena induksi persalinan berkaitan dengan kejadian inersia
uteri, partus lama, trauma serviks, persalinan buatan dan operasi sesar, pada
beberapa kasus terutama dengan serviks yang belum matang; perlu dilakukan
perawatan ekspektatif; asalkan keadaan janin baik.
Hal
ini berdasarkan :
- Enam puluh persen kehamilan akan berakhir
dengan persalinan spontan pada usia kehamilan 40-41 minggu, dan 80% pada
kehamilan 43 minggu.
- Dengan
adanya kemajuan teknologi kedokteran untuk pemantauan kesejahteraan janin,
janin masih dapat dipertahankan dalam rahim selama keadaannya masih baik.
Harus diingat bahwa tidak
ada cara pemantauan kesejahteraan janin yang paling ideal, sehingga harus
dilakukan kombinasi dari berbagai cara.
2. Aktif
Tanpa melihat keadaan serviks induksi harus dilakukan pada
fetus yang mempunyai risiko untuk mengalami dismaturitas, atau bila kehamilan
mencapai umur 44 minggu. Kejadian
partus lama, inersia uteri hipotonik dan gawat janin selama persalinan akan
meningkat, sehingga pada induksi kehamilan serotinus, pengawasan intrapartum harus lebih ketat.
Induksi dapat dilakukan dengan tetesan oksitosin
per-infus atau dengan pemakaian preparat prostaglandin.
7. Prognosis
Kematian
janin pada kehamilan serotinus meningkat, bila pada kehamilan normal (37-41
minggu) angka kematiannya 1,1% maka pada 43 minggu angka kematian bayi menjadi
3,3% dan pada kehamilan 44 minggu: 6,6%.
Pada beberapa kasus meskipun usia kehamilan melebihi 42 minggu, fungsi plasenta
tetap baik sehingga terjadi anak besar (> 4000 gram) yang dapat
menyulitkan persalinan.
Morbiditas ibu meningkat karena kejadian partus
buatan dan seksio sesarea meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Beck, William.Obstetrics
and Gynecology. Ed. 3. : Harwal Publ.
Philadelphia. 49-54, 1993.
2.
Cunningham, FG, McDonald PC, Grant NF, Leveno KJ,
Gilstraf III LC, Hankins GDV, Clark SL. Williams
Obstetrics. Ed. 20. : Prentice-Hall International Inc. USA. 579-605, 1997.
3.
Danforth, David N. Obstetrics and Gynecology.
Ed 4. : Harper & Row. Philadelphia.
478-479, 1977.
4.
Komentar
Posting Komentar